Ibu adalah sekolah pertama bagi seorang anak. Banyak anak
yang berhasil bermula dari seorang ibu. Sosok perempuan yang mau berkorban
apapun demi keberhasilan anaknya.
Ibu di mataku adalah sosok yang tergantikan. Ribuan hari yang
berlalu tidak akan pernah memupus kehadiran dan jasanya di dalam hidupku. Ia
yang membuatku berarti dan penyokong semangat utamaku.
Menjadi ibu adalah kodrat seorang wanita. Dipanggil dengan
sebutan ibu adalah keinginanku. Aku ingin anakku memanggilku ibu seperti halnya
aku memanggil perempuan yang telah bertaruh nyawa demi kelahiranku.
Alasan pemanggilan ibu adalah karena anakku nantinya lahir
dan besar di Indonesia. Aku ingin mengenalkan budaya negeri Indonesia dimulai
dengan panggilan pertama kepada orangtuanya. Begitupun ketika dia memanggil
ayahnya. Cukup dengan bapak. Panggilan yang lebih membumi terutama di keluarga
besarku.
Bagi orang yang tinggal di pedesaan, panggilan yang asing
akan dianggap menyalahi adat. Aku ingin anakku membumi semenjak dia dilahirkan.
Begitu juga dengan bahasa yang akan kugunakan sebagai alat komunikasi utama di
keluarga kecilku. Aku memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa utama di
keluarga. Biar sejak kecil ia mengenal bahasa bangsanya. Bila ia sudah agak
besar, sekitar usia sekolah dasar baru kukenalkan dengan bahasa asli kedua
orangtuanya dengan berimbang. Yakni bahasa asli ibu dan bapaknya bila aku dan
suamiku berbeda suku.
Mendidik anak untuk menjadi pemimpin dimulai sejak ia lahir.
Di sinilah peran ibu sangat penting. Aku pun menyadari hal itu. Pola
kepemimpinan seorang ibu dan ayah dalam sebuah keluarga akan menentukan
bagaimana seorang anak akan bersikap.
Ibu adalah kaca tempat anak bercermin. Sebagaimana kata
seorang pakar intelegensia Munif Chatib bahwa anak kecil adalah peniru orang
dewasa di sekitarnya. Maka, bagiku tidak ada pilihan lain selain membiasakan
diri berperilaku santun di depannya. Alasannya sederhana agar bila dewasa kelak
ia akan berperilaku sama dengan orangtuanya.
Bila sejak kecil seorang anak terbiasa dididik dengan kasih
sayang, santun, maka ketika besar ia akan menyayangi sesamanya. Ia tidak akan
melakukan kekerasan atau membangkang sebagaimana yang kita saksikan di media
massa saat ini.
Seorang ibu akan berperan besar membentuk karakter anak
dimulai dari sejak masih di dalam kandungan. Bila sejak kecil dibiasakan untuk
mendengar hal-hal yang positif, maka ia pun terbiasa untuk berpikir positif.
Mendidik anak tidaklah mudah. Terlebih di dunia serba layar
seperti sekarang ini. Perlu aturan dan disiplin kuat agar anak bertanggungjawab
terhadap dirinya dan lingkungannya.
Perilaku disiplin hendaknya dibangun semenjak ia lahir.
Sebagai contoh adalah pemberian Air Susu Ibu(ASI). Pemberian ASI yang terjadwal
akan membuat bayi terbiasa hidup disiplin. Di samping memudahkan sang ibu, anak
pun terbiasa hidup teratur, terjadwal dan sabar. Ini yang terkadang terlewat di
mata ibu-ibu modern yang mengganti ASI dengan susu formula.
Bila menjadi ibu nanti, aku pun akan menyusui anakku dengan
ASI. Di mataku ASI sangat berguna untuk kecerdasan, kekebalan tubuh dan
menjadikan seorang anak lebih manusiawi. Seorang anak akan merasakan ikatan
yang kuat dengan ibunya. Ia pun akan menjadi menyayangi ibunya dan kaum ibunya.
Sehingga tindakan kasar, tak bertanggungjawab, kekerasan verbal dan seksual
tidak akan terjadi lagi.
Aku pun akan terus membimbing anakku dengan membisikkan
kata-kata penuh semangat dalam menghadapi kehidupan. Meniru pelatih Indra
Sjafrie yang berhasil membawa Timnas U-19 ke Myanmar, tak ada ruginya
membiasakan anak dengan hal-hal yang penuh optimis. Kelak bila besar, ia akan
selalu berjuang dan bekerja keras demi menggapai impiannya.
Aku pun tidak akan mengucapkan kata-kata larangan yang hanya
akan membuat anakku takut melakukan sesuatu. Akan kuganti dengan kata yang
lebih membuatnya berani, mandiri dan tidak tergantung dengan orang lain.
Dalam urusan makan pun, akan kuajari mandiri sejak kecil.
Bila belepotan, kuajak ia untuk membersihkan makanannya sendiri. Dengan begitu,
ia tau menjaga kebersihan tanpa harus melarangnya dengan kalimat kasar.
Pendidikan agama akan kuberikan sejak dini. Ini penting
karena menjadi landasan dan pedoman bagi anakku dalam mengarungi bahtera
kehidupan. Tidak hanya ibadah yang ritual, namun juga pengamalan dalam
kehidupan sehari-hari seperti menghargai orang lain, menyayangi sesama, berbagi
dengan orang yang tidak mampu dan sebagainya.
Selain pendidikan agama, kejujuran juga menjadi fokus utama
pembelajaran kepada anakku. Dimulai dari memberikan makanan yang halal
kepadanya, hingga mengenalkannya kepada kejujuran dalam bentuk tindakan. Contohnya
ketika ia jatuh, maka kalimat yang kuucapkan adalah “Nak, ayo berdiri lagi!
Kamu pasti bisa!” Bukan kalimat seperti ini, “ini salah batunya atau pohonnya
yang salah.” Kalimat ini tidak mendidik karena anak akan terbiasa menyalahkan
orang lain dan tidak bertanggungjawab.
Ketika memberikan makanan dan minuman, kugunakan kalimat yang
penuh kasih sayang dan kelembutan. Karena air yang diberikan dengan kata-kata
kasar akan membuat partikel di air menjadi hitam. Hal ini akan merusak tubuh
sang anak sehingga menjadi brutal dan tak terkendali. Sebaliknya air yang
diberikan dengan kelembutan akan membaut anak menjadi tenang, tentram dan
terkendali.
Sejak di dalam kandungan, anakku akan mendapatkan nutrisi
yang sehat. Sesuai dengan anjuran pemerintah empat sehat lima sempurna. Asupan
gizi akan sangat kuperhatikan. Tentu dengan menggunakan bahan-bahan lokal. Aku
termasuk warga negara Indonesia yang sangat mencintai produk lokal. Niatku
menolong petani dan menjaga warisan tanaman Indonesia yang sudah banyak hilang
dari tanah Indonesia.
Bila ASI sudah selesai, anakku tetap akan mendapatkan asupan
gizi empat sehat lima sempurna. Kuusahakan untuk membuat makanan yang sesuai
dengan kebutuhan tumbuh kembang anak. Makanan olahan dari pabrik sebisa mungkin
kuhindari. Aku ingin membesarkan anakku dengan makanan yang alami dan sehat.
Asupan gizi yang pas, pendidikan yang sesuai dengan umurnya
akan membuat anak jauh lebih berkembang. Aku pun tidak akan memasukkan anakku
cepat-cepat ke sekolah. Biarlah ia belajar dengan teman sebayanya. Belajar
bersosialisasi dan bermain sepuasnya. Aku pun tidak ingin anakku meniru
artis-artis di televisi. Kuingin ia berkembang sesuai umurnya. Tidak ada
pemaksaan ataupun manipulasi.
Kota Tangerang 21
Oktober 2013
Naskah ini dikutkan
Naskah ini dikutkan
dalam lomba penulisan blog “Peran Ibu Untuk Si Pemimpin
Kecil”.
yang diadakan oleh
Nutrisi Untuk Bangsa